Bab 86
Bab 86
Bab 86 Permintaan Tetua Normando
Itu harusnya menjadi pesta besar pada hari itu, tapi dihancurkan oleh seseorang yang menayangkan foto-foto itu. Apakah tujuannya untuk menghina keluarga Normando atau Vivin, hal itu gila.
Pak Zein mengangguk, “Iya. Pelakunya adalah tunangan dari cucu Anda, Nona Alin.”
Mendengar nama pelakunya tidak membuat Tuan Normando terkejut. Malah, ia tersenyum. mengejek saat mendengar nama itu, “Sudah kuduga. Aku sudah mencurigainya dari awal. Gadis itu tidak baik. Dia pengacau.”
Pak Zein menyela dengan sopan, “Mungkin itu ada hubungannya dengan hubungan antara Nona Wilardi dan cucu Anda saat di universitas dulu.”
Dengan mengangguk setuju, Tuan Normando mendengus, “Paman dan keponakan sama-sama jatuh cinta pada wanita yang sama. Kami, keluarga Normando juga salah karena menghasut hal seperti itu.”
“Tapi Nona Willardi adalah satu-satunya wanita yang bisa menarik perhatian putra kedua Anda. Bagaimanapun, saya yakin Anda tetap akan mendukung hubungan mereka.” Pak Zein sudah menjadi orang kepercayaan Tuan Normando selama bertahun-tahun dan bisa dengan mudah memahami jalan pikiran pria itu.
“Kau benar.” Sambil menggosok-gosokkan mata lelahnya, Tuan Normando melanjutkan, “Untuk pengacau bernama Alin itu, pergilah beritahu Fabian tentang perbuatan jahatnya.”
“Apa Anda tidak mau mengurusnya secara pribadi?”
“Meh. gadis liar seperti itu? Dia tidak pantas untuk membuatku bergerak sendiri.” Dengan nada mengejek, Tuan Normando berkata, “Jika Fabian bahkan tidak bisa mengatur wanitanya sendiri, maka dia tidak pantas menjadi bagian dari keluarga Normando.”
“Baik, saya paham.” Mematuhi perintahnya, Pak Zein memutuskan untuk pergi.
Saat Tuan Normando berjalan menuju sisi ranjangnya, dia menatap bulan dari jendela kamarnya. Pikirannya tiba-tiba ingat pada kejadian di lantai dansa, dimana Finno tersenyum senang sambil berdansa bersama Vivin. Wajah berkerutnya yang tengah mengernyit langsung melunak.
Sudah berapa lama ya… Sejak aku terakhir kali melihat Finno tersenyum seperti itu?
Kupikir Tuhan sudah mengabulkan doaku agar Finno bertemu dengan seorang wanita yang akhirnya bisa membuatnya tertawa lagi.
Saat ini, harapannya satu-satunya adalah agar keduanya segera dikarunia anak. This content © Nôv/elDr(a)m/a.Org.
Saat Tuan Normando mengkhawatirkan mereka, gairah asmara yang berapi-api di kamar lantai atas justru telah mendingin.
Finno tengah duduk diatas kursinya. Dia tengah menyandarkan kepalanya pada tangannya, dan kedua matanya terpejam saat dia memutuskan untuk beristirahat.
Walaupun malam semakin larut, Vivin terus gelisah membalikan badan, tak bisa tidur. Setelah keheningan panjang, akhirnya dia bersuara, “Finno, aku tidak bisa tidur. Bagaimana kalau kita mengobrol?”
Sambil tetap memejamkan matanya, Finno menjawab dengan acuh, “Memangnya mau mengobrol apa?”
“Tentang …” Vivin berhenti untuk berpikir sejenak, lalu melanjutkan, “Bagaimana kakekmu bisa tahu… kalau kita berdua belum melakukan hubungan suami istri?”
“Muti dan Lubis yang memberitahu tentang itu,” jelas Finno apa adanya. “Lagi pula, mereka berdua adalah anak buah kakek. Meskipun mereka bilang bahwa mereka ditugaskan oleh kakek untuk menjagaku, tetapi sebenarnya mereka adalah mata-mata kakek.”
Seketika itu Vivin mengerti mengapa Finno selalu menyuruh Muti dan yang lainnya pergi. Ternyata Finno sudah mengetahui tujuan mereka sejak awal.
Walaupun sebenarnya Tetua Normando hanya ingin memantaunya, akan tetapi tidak ada satu orang pun yang suka berada di bawah pengawasan ketat seperti itu, terlebih bagi Finno yang berniat mengelabui orang-orang bahwa dia terikat harus duduk di kursi roda.
“Omong-omong…” Vivin ragu sejenak sebelum melanjutkan bicaranya, “Kenapa kamu tidak jujur saja pada kakekmu bahwa kamu sebenarnya tidak cacat? Aku bisa merasakan kalau kakekmu sangat sayang dan memperhatikanmu.”
Finno membuka matanya sembari menegaskan “Aku tahu kakek sangat menyayangiku. Namun, usianya sudah lanjut dan dia ingin menikmati kehidupan keluarga dengan tenang. Akan tetapi, karena hal itulah, penilaiannya menjadi masalah.”
Vivin menoleh ke arahnya dengan penuh kebingungan, “Penilaian apa?”
“Penilaian terhadap tiap anggota keluarga.” Finno menjelaskan, “Contohnya, kakek selalu ingin Marthin dan aku bisa akrab. Oleh karena itu, apabila tahu kenyataan tentang kakiku ini, kakek bisa tanpa sengaja mengungkapkannya pada Marthin.”
Vivin sesaat terkejut sebelum akhirnya dia paham.
Alasan di balik kepura-puraan cacat kakinya itu adalah untuk mengelabui Marthin.
Hubungan inter-personal di sebuah keluarga terkemuka seperti keluarga Normando ini benar- benar rumit. Tiba-tiba merasa pusing mendengarnya, Vivin pun memejamkan matanya mencoba untuk tidur.
Dengan mata mengantuk, samar-samar dia melihat Finno duduk di meja sembari menatap sesuatu di tangannya.
Dalam cahaya remang-remang, Vivin melihat sesuatu yang bersinar pada tangan Finno, seperti
sebuah liontin kristal.
Apakah itu liontin yang waktu itu?
Dalam keadaan setengah sadar, Vivin merasakan sedikit kegundahan di dalam hatinya.
Liontin itu. Punya siapa? Siapa orang yang bisa membuatnya sedemikian peduli dengan liontin itu?
Selagi berpikir dalam kantuknya, lambat laun Vivin pun tertidur lelap.